Latency: Perangkat AI Menjadi Kawan dan Musuh dalam Game

Latency

retroconference.orgLatency: Perangkat AI Menjadi Kawan dan Musuh dalam Game. Perkembangan teknologi tidak pernah berhenti mengejutkan kita, terutama dalam industri game. Salah satu contoh menarik adalah film “Latency”, sebuah karya yang di sutradarai dan di tulis oleh James Croke. Film ini membawa kita pada sebuah pengalaman horor dan thriller yang mengangkat potensi berbahaya dari teknologi AI ketika di terapkan ke dalam dunia gaming. Hana, seorang gamer profesional yang menderita agorafobia, menemukan dirinya dalam situasi yang memaksa untuk mempertanyakan: apakah perangkat ini membantunya, membaca pikirannya, atau bahkan mengendalikannya?

Perangkat Baru yang Mengubah Cara Bermain Game

Latency

“Latency” mengisahkan seorang pemain profesional, Hana (di perankan oleh Sasha Luss), yang menderita agorafobia akut dan masih mencoba untuk mengatasi rasa kehilangan orang tuanya. Hana menerima perangkat baru yang diklaim bisa membaca aktivitas otak pengguna dan secara bertahap mengembangkan sinkronisasi untuk mempercepat reaksi serta meningkatkan efisiensi. Dengan teknologi ini, Hana merasakan perubahan signifikan dalam kemampuannya bermain, seolah-olah perangkat tersebut menjadi ekstensi otaknya. Alhasil, ia mampu menguasai permainan online multiplayer dengan sangat mudah.

Namun, ini memunculkan pertanyaan: apakah penggunaan perangkat tersebut dapat di anggap sebagai “kecurangan”? Di dunia game PC yang sudah sering di ganggu oleh berbagai cheat mod, tidak dapat di pungkiri bahwa teknologi ini memiliki potensi untuk merusak keseimbangan kompetisi. Para pemain lain mungkin akan melihat perangkat tersebut sebagai bentuk lain dari curang yang hanya menguntungkan pemain dengan perangkat mahal. Belum lagi, seiring semakin banyaknya gamer yang membeli perangkat ini, bukankah seharusnya level permainan akan kembali seimbang? Inilah beberapa dilema yang coba di hadirkan oleh “Latency”, meski sayangnya tidak terlalu mendalam dalam mengupasnya.

Perjuangan Hana Mengatasi Ketakutannya

Di tengah kegelisahan, Hana tetap memilih untuk menjalani proses sinkronisasi yang panjang dan menantang, termasuk serangkaian latihan fisik dan aktivitas mengetik serta penggunaan mouse. Setelah berhasil menaklukkan proses ini, Hana mulai berpikir untuk memanfaatkan kelebihan perangkat tersebut dengan mengikuti turnamen yang sebelumnya dia takutkan. Dengan peningkatan kemampuan ini, Hana merasa lebih percaya diri untuk meraih hadiah uang tunai dan membayar hutang-hutangnya.

Baca Juga:  Cold Meat (2024): Film Horor yang Memacu Adrenalin

Akan tetapi, “Latency” bukan sekadar film tentang game, tetapi juga horor psikologis. Seiring berjalannya waktu, Hana mulai mengalami halusinasi menyeramkan yang berhubungan dengan trauma masa lalunya, terutama kejadian yang menyebabkan kematian kedua orang tuanya. Perangkat yang semula membantu, kini terasa mengendalikan kehidupannya. Bahkan, ia menjadi semakin takut untuk keluar dari apartemennya, seolah-olah perangkat tersebut ingin memastikan Hana tetap terjebak dalam dunia virtual yang mengaburkan kenyataan.

Ketakutan, Teknologi, dan Kehilangan Makna Kehidupan

“Latency” menggunakan banyak elemen horor klasik: suara lembut yang menenangkan dari perangkat AI, penampakan mengerikan yang di manfaatkan untuk menciptakan jump scare, dan situasi yang membingungkan antara kenyataan dan halusinasi. Namun, pada intinya, film ini ingin menyampaikan bahwa betapapun canggihnya teknologi, kehidupan yang nyata ada di luar sana, bukan hanya di dalam kamar dan di depan layar. Ada momen-momen di mana narasi film seolah-olah menuduh dunia game sebagai penyebab utama masalah Hana, yang tentu saja tidak sepenuhnya adil bagi komunitas gamer.

Di sisi lain, film ini juga mencoba menghadirkan berbagai nostalgia bagi para gamer. Dengan referensi-referensi menyenangkan seperti blok tanda tanya dari Super Mario. Ini memberi sedikit keseimbangan dalam pandangan film terhadap dunia gaming.

Kesimpulan: Ketika Potensi Teknologi Tidak Diolah dengan Optimal

Sayangnya, “Latency” gagal memberikan ketegangan atau horor yang menarik meskipun telah berusaha keras menampilkan permainan realitas dan imajinasi Hana. Teknologi yang menjadi elemen utama cerita juga tidak di kembangkan secara maksimal. Sebagai penonton, kita hanya di suguhi adegan-adegan Hana tersenyum lebar dan memutar-mutar kursi gamingnya sembari mengalahkan lawan dengan pikirannya. Potensi ide yang ada sebenarnya cukup menarik, terutama dengan isu kecemasan tentang perkembangan AI yang semakin pesat. Namun, eksekusinya yang berantakan membuat film ini terasa seperti perangkat dengan banyak “bug” yang tidak di perbaiki.

Di dunia di mana masyarakat belum sepenuhnya memahami bahaya dari AI, “Latency” seharusnya bisa menjadi peringatan keras. Namun, hasil akhirnya lebih terasa seperti sebuah percobaan yang belum selesai, meninggalkan kita dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.